Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) sebagai Kedok Oligopoli: Sebuah Kritik atas Narasi Pembangunan Berkelanjutan

Shohibul Anshor Siregar
Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik
PW Muhammadiyah SUMUT

Dalam wacana bisnis kontemporer, Corporate Social Responsibility (CSR) seringkali digambarkan sebagai jiwa altruistik dari kapitalisme modern—sebuah komitmen sukarela perusahaan untuk melampaui laba semata dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan planet. Narasi ini telah berhasil menjadikan CSR sebagai pilar utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan global, di mana pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat berjalan seiring dengan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Namun, di balik cahaya gemilangnya, tersembunyi sebuah realitas yang lebih suram dan kompleks. Kajian kritis ini berargumen bahwa dalam struktur pasar yang didominasi oleh kekuatan oligopoli dan kartel, CSR seringkali tidak lagi menjadi instrumen kebaikan sosial, melainkan berubah menjadi senjata strategis yang canggih untuk mempertahankan dominasi pasar, melegitimasi praktik eksploitatif, dan menciptakan ilusi tanggung jawab yang menyesatkan publik dan regulator.

Untuk memahami dinamika ini, kita harus terlebih dahulu membongkar karakteristik fundamental dari pasar oligopoli. Berbeda dengan pasar persaingan sempurna yang diisi oleh banyak pemain kecil, oligopoli dicirikan oleh segelintir perusahaan raksasa yang menguasai mayoritas pangsa pasar. Kekuatan mereka tidak hanya bersifat ekonomi—dengan kemampuan untuk memengaruhi harga dan produksi—tetapi juga politis dan kelembagaan. Perusahaan-perusahaan ini memiliki sumber daya yang luar biasa untuk membentuk regulasi, memengaruhi opini publik melalui lobi dan hubungan masyarakat yang intensif, dan bahkan secara implisit berkoordinasi dengan pesaingnya untuk mempertahankan status quo, sebuah praktik yang mirip dengan kartel. Dalam ekosistem yang terkonsentrasi dan berdaya koersi tinggi inilah CSR dioperasionalkan, seringkali kehilangan rohnya yang sebenarnya.

Dalam konteks ini, CSR mengalami transformasi fungsional yang paradoks. Alih-alih menjadi mekanisme untuk mengoreksi eksternalitas negatif dari aktivitas bisnis—seperti polusi atau ketimpangan—CSR justru menjadi alat untuk menyembunyikannya. Teori sinyal (signaling theory) menjelaskan bagaimana perusahaan menggunakan CSR untuk mengirimkan pesan yang credibel kepada pemangku kepentingan bahwa mereka adalah entitas yang beretika dan berkelanjutan. Namun, di tangan oligopoli, sinyal ini lebih merupakan pertunjukan pencitraan (greenwashing) daripada perubahan substantif. Perusahaan minyak multinasional, misalnya, mungkin dengan masif mengampanyekan investasinya dalam membangun sekolah dan klinik kesehatan di Delta Niger, sementara operasi pengeboran intinya terus menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif dan ireversibel. Inisiatif CSR menjadi batu nisan yang megah untuk menutupi kuburan massal ekosistem yang telah dihancurkan.

Analisis empiris dari berbagai industri oligopolistik memperjelas pola ini. Di sektor minyak, empat perusahaan terbesar (“Big Oil”) menguasai lebih dari 60% pasar global. Indeks Herfindahl-Hirschman (HHI) yang tinggi mengonfirmasi tingkat konsentrasi yang mengkhawatirkan. CSR mereka, yang kerap berwujud program pengembangan masyarakat, lebih berfungsi sebagai alat manajemen reputasi untuk meredam kemarahan publik dan kritik regulator daripada menyelesaikan masalah mendasar. Demikian halnya di industri pertambangan, di mana perusahaan seperti BHP dan Rio Tinto mendominasi produksi mineral global. Program CSR mereka di bidang kesehatan dan pendidikan seringkali hanya menjadi tetesan air di atas batu panasnya praktik perusakan habitat dan eksploitasi tenaga kerja.

Industri farmasi, dengan sepuluh perusahaan teratas menguasai lebih dari 60% pasar global, memberikan contoh yang paling ironis. Perusahaan-perusahaan ini aktif mempromosikan program CSR mereka yang bertujuan meningkatkan akses kesehatan di negara-negara miskin. Namun, pada saat yang bersamaan, mereka dengan gigih mempertahankan strategi paten dan penetapan harga monopoli yang justru membuat obat-obatan penyelamat jiwa menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat yang paling membutuhkan. Di sini, CSR bukan hanya menjadi alat pencitraan, tetapi juga tameng untuk menangkal pengawasan regulasi dan melanggengkan praktik bisnis yang pada hakikatnya kontradiktif dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka klaim.

Bahaya yang lebih dalam muncul ketika CSR bersinggungan dengan dinamika kartel. Dalam industri yang sangat terkonsentrasi seperti pangan, di mana Nestlé, PepsiCo, dan Unilever menguasai porsi pasar yang sangat signifikan, CSR dapat digunakan untuk menciptakan front persatuan yang ilusif. Perusahaan-perusahaan ini bisa saja secara kolektif terlibat dalam kolusi harga—seperti yang terbukti dalam kasus denda Uni Eropa terhadap kartel cokelat—sementara secara simultan membanjiri media dengan kampanye CSR tentang keberlanjutan dan nutrisi sehat. CSR berfungsi sebagai kamuflase korporat yang canggih, mengalihkan perhatian publik dari manipulasi pasar yang mereka lakukan dan menyuguhkan citra sebagai pelaku bisnis yang bertanggung jawab.

Peran pemerintah dan kebijakan publik dalam mengatur praktik CSR juga tidak kebal dari pengaruh kekuatan oligopoli ini. Melalui lobi yang kuat, sumbangan kampanye, dan praktik “revolving door” antara jabatan regulator dan eksekutif perusahaan, entitas korporat raksasa seringkali berhasil menangkap regulasi (regulatory capture). Mereka membentuk kebijakan CSR yang lemah, longgar, dan simbolis, yang memungkinkan mereka memenuhi kewajiban minimal tanpa harus mengubah model bisnis inti mereka yang eksploitatif. Akibatnya, kebijakan pembangunan berkelanjutan yang mulia justru dapat dikapitalisasi dan dilemahkan oleh kepentingan yang ingin dilawannya. CSR yang dilembagakan oleh negara berisiko menjadi sekadar ritual kepatuhan yang kosong, bukan pendorong perubahan sistemik.

Kesimpulannya, kajian ini melihat bahwa dalam lanskap ekonomi yang didominasi oligopoli, CSR telah mengalami disfungsi yang serius. Ia telah direduksi dari potensinya sebagai kekuatan untuk kebaikan menjadi alat untuk legitimasi, manipulasi, dan pemeliharaan kekuasaan pasar. Narasi-narasi hijau dan program-program komunitas yang terpampang indah dalam laporan tahunan seringkali hanyalah lapisan gula yang melapisi pil pahit dari eksploitasi lingkungan, praktik kartel, dan ketidakadilan sosial.

Oleh karena itu, diperlukan reformasi kebijakan yang lebih radikal dan berani. Regulasi CSR harus bergeser dari pendekatan voluntaristis yang mudah dimanipulasi menuju kerangka yang memaksa transparansi, akuntabilitas, dan hasil yang terukur. Pengawasan independen dan partisipasi masyarakat sipil harus diperkuat untuk memastikan bahwa inisiatif CSR benar-benar menyentuh akar permasalahan dan tidak hanya menjadi alat hubungan masyarakat yang mahal. Yang paling penting, kebijakan antimonopoli dan persaingan usaha harus diperketat untuk memangkas konsentrasi kekuatan pasar yang menjadi sumber dari segala distorsi ini. Hanya dengan demikian CSR dapat dibebaskan dari cengkeraman oligopoli dan kembali kepada misi sucinya: menjadi jembatan yang benar-benar menghubungkan dunia korporasi dengan pembangunan berkelanjutan dan keadilan bagi semua.

Editor : Riky Galung M.Pd

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top