
Gelaran muktamar yang dinilai tidak sesuai mekanisme konstitusional kembali menjadi sorotan setelah sejumlah keputusan dianggap diambil secara sepihak, meskipun diklaim sebagai hasil keputusan OC (Organizing Committee) dan SC (Steering Committee).
Informasi yang diterima menunjukkan bahwa tidak semua anggota OC dan SC menyetujui keputusan tersebut, sehingga menimbulkan kontroversi di internal.
Di sisi lain, keputusan pimpinan PB PII khususnya Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal yang seharusnya bersifat urgent dalam merespons dinamika organisasi, dinilai sebagian kader tidak sejalan dengan ketentuan organisasi.
Hal ini memicu ketidakpatuhan dan memperuncing perbedaan pandangan.
Sejumlah pihak mengungkapkan bahwa kondisi PB PII saat ini seperti sedang diadu domba oleh oknum yang memiliki kepentingan pribadi terhadap jabatan.
“Seharusnya tidak perlu membelah apalagi mengadu domba, kalau memang merasa mampu bertarung secara sehat,” ujar salah satu kader.
Isu percepatan muktamar juga menuai tanda tanya. Ada dugaan bahwa percepatan dilakukan karena adanya tekanan atau janji politik internal tertentu.
Selain itu, penolakan sebagian pihak terhadap pelaksanaan muktamar di Palembang dinilai karena kekhawatiran tidak memperoleh dukungan mayoritas.
Akibatnya, pengurus wilayah disebut menjadi pihak yang paling dirugikan dari situasi ini.
Keputusan mengenai pemindahan tuan rumah muktamar juga menjadi catatan serius.
Dalam prosesnya, muncul dua lokasi berbeda di dua provinsi berbeda tanpa kejelasan mekanisme pengambilan keputusan.
Hal ini memunculkan persepsi adanya upaya memecah belah PII justru dilakukan kepada pihak-pihak yang selama ini konsisten menjaga marwah organisasi.
Sementara itu, ujaran kebencian yang muncul di ruang publik semakin memperburuk situasi.“Kalau dilihat secara jernih, ungkapan kasar dan hujatan itu berasal dari pihak mana? Jangan sampai seolah-olah bersih, tetapi menutup mata terhadap kenyataan,” ungkap seorang pengurus.
Aspek lain yang juga menjadi keprihatinan adalah etika dan adab berorganisasi. Di tengah narasi keagamaan yang kerap dikedepankan, masih ditemukan perilaku yang tidak mencerminkan nilai dasar keislaman.
Situasi ini dinilai fatal karena publik khususnya kader di daerah tidak mengikuti dinamika dari dekat sehingga sulit membedakan mana informasi objektif dan mana yang bersifat propaganda.
Dengan kondisi ini, banyak kader berharap agar semua pihak kembali pada prinsip organisasi, menjunjung aturan main, menjaga persatuan, dan menghentikan manuver yang berpotensi merusak keberlangsungan PII sebagai organisasi kader bangsa.”Hal lain yang bisa kita lihat bahwa periodesasi dilewatkan sebagaimana yang diatur oleh hierarki hukum di PII,” tutupnya.